Pages

Selasa, 29 Desember 2009

Amplop Kosong

Mang Udin, orang yang terkenal, mempunyai kedudukan, serta dikenal masyarakat luas. Belum lama ini mengadakan hajatan, menikahkan anaknya, si Oja. Undanganya, yang disebar, lumayan banyak, kalau tidak salah, jumlahnya hampir 5000 undangan. Tak ada yang terkecuali.
Jauh-jauh hari Mang Udin sudah mempersiapkan pernikahan anaknya si Oja. Pernikahan yang akan dilangsungkan itu, ingin menjadi kenangan yang indah, bagi keluarganya.

Tenda, kursi, pelaminan, dan gono-gini, yang bakal diberikan kepada calon sang ‘menantu’ juga sudah siap. Lemari, kasur, termasuk ‘cover bad’, sudah dibeli. Tinggal dibawa saat berlangsung akad nikah antara si Oja dengan Melani. Pokoknya, Mang Udin sebagai sang ‘tokoh’ tidak ingin mengecewakan bakal menantu, serta sang besan. Apalagi, ia sudah dikenal masyarakat luas sebagai tokoh.
Hari yang ditunggu-tunggu tiba. Hari Kamis. Dari mulai pagi para tamu sudah berdatangan. Sampai menjelang malam. Tamu tanpa henti. Para tamu dengan gembira berdatangan silih berganti. Mereka memberikan ucapan selamat kepada mempelai, dan tak lupa kepada shohibul hajat, yaitu Mang Udin. Orkes gambus tak henti-hentinya menyenandungkan lagu. Dengan penyanyi yang menggunakan kerudung. Lagunya campur-campur. Saban-saban lagu melayu, pop, tapi juga diselingi dengan lagu-lagu yang menggunakan bahasa ‘arab’, dan menghibur.
Mang Udin, isteri, mantu, dan besan, menampakkan keramahannya, tersenyum dan menyalami para tamu. Sikapnya penuh kehangatan. Menunjukan kegembiraan dan penghormatan kepada para tamunya. Tak rugi Mang Udin yang sudah menyembelih dua ekor sapi jantan, dan enam ekor kambing, serta beberapa puluh ekor ayam, dan tamunya merasa senang dan menikmati jamuan itu. Masih ditambah dengan makanan kecil, serta es, dan buah-buahan, yang diambil dari kebonnya, yang sedang panen. Berkarung-karung rambutan menjadi ‘pencuci’mulut, bagi para tamu yang usai makan.
Di depan, para penerima tamu, tak kalah ramahnya dibanding dengan Mang Udin, dan mereka semuanya menggunakan seragam batik. Laki-laki berdiri di depan dengan penuh takzim menyambut para tamu. Sementara wanitanya mengunakan kebaya dan berkerudung menyambut para ibu-ibu yang datang berbondong-bondong. Barangkali para penerima tamu wanita, merasa keletihan, karena dari pagi sampai malam harus berdiri, sambil terus menyalami dan mengantarkan para tamu ibu yang baru datang.
Tak lupa Mang Udin dan isterinya juga sudah menyediakan kotak besar, yang digunakan untuk menerima ‘amplop’ dari para tamu, yang dari jumlah undangan yang sudah diedarkan itu, berjumlah 5000 undangan. Melihat banyak tamu yang hadir dan tak putus-putus itu, di raut wajahnya sudah terbayang, bakalan ‘surplus’, dari hajatan pernikahan anaknya itu. Setidaknya, modal yang digunakan untuk membiayai pernikanah anaknya bakal balik. Sampai menjelang maghrib, kotak besar itu, sudah hampir tidak muat. Setiap tamu yang akan memasukkan amplop ke dalam kota itu, terpaksa harus dibantu oleh para penerima tamu, agar amplop itu bisa masuk ke dalam kotak. Karena sudah penuh sesak.
Menjelang jam 10.00 malam pesta usai. Mang Udin, isteri, mantu, dan besan, meninggalkan tempat pesta. Meski, orkes masih berbunyi, tak mau berhenti. Anak-anak muda masih belum beranjak, dan tetap duduk dibangku, yang sudah ditinggalkan tamu. Mereka tetap menikmati lagu-lagu orkes, yang semakin malam, semakin semangat.
Besoknya, Mang Udin dan isteri, mulai membuka amplop yang berjibun itu. Satu-satu dibukanya dengan penuh perhatian. Dibacanya nama-nama penyumbang. Wajahnya kadang-kadang berseri, kadang nampak berkerinyit, dan sambil menghela nafasnya panjang.
Tak menyangka hal itu bakal terjadi. Seperti sebuah mimpi buruk, yang ia tidak percaya,dan menyakini, apa yang dihadapinya, sesudah membuka amplop itu semuanya. Dari amplop yang dibukanya itu, yang jumlahnya hampir 4500 itu, tak mencapai mencapai 30 juta. Mang Udin tetap duduk tertegun, di depan amplop, yang berserakan dan isinya sudah kosong itu.
Tentu, yang tak habis pikir, sebagian besar isi amplop itu, hanya uang Rp 5.000, Rp 1.000, Rp 5.00, bahkan tak sedikit pula yang kosong. Tanpa isi. Di depan Mang Udin, isterinya, si Siti, tak henti-hentinya menangis. Pesta pernikahan anaknya sudah menghabiskan Rp 80 juta. Dari mana lagi, Mang Udin harus mengembalikan modalnya itu. Sementara, amplop yang sudah di itung jumlahnya tak sampai Rp 30 juta. Ini yang membuat mpok Siti menangis terus.
Lalu, beredar cerita amplop yang isinya banyak uang Rp 5.000an itu, dan bahkan ada yang kosong, tak lain akibat perbuatan si ‘tuyul’. Mang Udin curiga ada tetangganya, yang pagi buta pukul 3.00 dini hari, berada dilapangan dekat tempat pesta pernikahan anaknya, dan hanya menggunakan keben. Wanita inilah yang dicurigai yang menukar dan pembawa isi amplop itu.
Pokoknya sekarang di kampung Mang Udin ini ramai isu tentang tuyul, yang telah membawa isi amplop itu. Akibatnya, hubungan diantara para tetangga saling curiga. Semuanya terpusat dari pesta Mang Udin, dan cerita tuyul. Wanita yang dituduh mempunyai tuyul itu, kemana-mana selalui dicuragai. Penduduk kampung itu dilanda ketakutan, takut uangnya dibawa lari tuyul.
Padahal, kalau mau berpikir logis, tetangga Mang Udin, banyak pengangguran, tukang ojek, kuli batu, pemulung, dan orang-orang yang kerjanya serabutan. Jadi bukan karena tuyul, amplop yang isinya hanya Rp 5.000 dan sebagian kosong, hanyalah akibat kondisi masyarakat yang berat, akibat tidak ada pekerjaan. Ada orang kaya yang tinggal di kampung itu, tapi jumlahnya dapat dihitung dengan jari tangan. Kemiskinan yang sangat akut dan dahsyat telah mendera kehidupan rakyat dikampung itu, tak mampu mengisi amplop, dan memberikan sumbangan kepada Mang Udin yang berarti.
Andai Mang Udin, tinggal di kampung pejabat, dan orang-orang kaya, mungkin isi amplopnya, bukan uang Rp 5.000, Rp 1.000, Rp 5.00, bahkan kosong, tapi mungkin isinya travel check, yang dapat mengembalikan modalnya untuk pesta anaknya itu. Bagitulah nasib tinggal di kampung miskin. Wallahu’alam.

“http://www.eramuslim.com/editorial/ampop-kosong.htm”